Sabtu, 21 Maret 2009

Aku Bisa Menulis!: Buku Meditasi untuk Para Penulis

Diana AV Sasa

Aku Bisa Menulis!: Buku Meditasi untuk Para Penulis
(Walking on Alligators: A Book of Meditation for Writer
Penulis : Susan Shaughnessy
Penerbit :Mizan Learning Centre(2004)


Hanya Soal Rutinitas
“Hanya dengan menulis setiap pagilah seseorang bisa menjadi penulis. Mereka yang tidak melakukan itu akan tetap menjadi amatir” (Gerald Brenan)
Kalimat diatas dikutip Susan Shaughnessy di awal-awal Walking on Alligator, atau Aku Bisa Menulis!. Selanjutnya dia mengingatkan bahwa pada dasarnya seorang penulis adalah orang yang menulis. Mereka menulis dalam kondisi apapun. Tertekan, gembira, jatuh cinta, bersedih, kedokter gigi, atau ketika tidak sedang melakukan itu semua. Mereka tetap menulis dalam kondisi pemerintahannya digulingkan atau sedang dibangun kembali. Mereka menulis karena mereka menulis.
Susan menambahkan, pemikiran yang ada di hari ini,ide yang siap mengalir hari ini, tidak akan bisa dituangkan esok hari. Waktu yang diluangkan untuk menulis tidak pernah sia-sia. Seandainya Anda hanya bisa meluangkan waktu selama dua puluh menit, dan hanya bisa menuliskan satu atau dua kalimat saja, Anda tetap melakukan sesuatu yang penting. Anda telah menuliskannya.
Kemudian Susan mengakhiri dengan kalimat menggugah : Aku akan menulis hari ini. Inilah kesempatanku untuk melakukan apa yang aku katakan ingin aku lakukan.
Susan menuturkan semua itu ketika membahas tentang cinta. Tak ada salahnya cinta menulis. Tapi cinta saja tidak cukup untuk menjadi seorang penulis. Kecintaan itu harus diwujudkan dalam keseharian hingga terbukti. Seorang yang cinta menulis harus menulis setiap hari,demikian tulis Susan.
Menulis memang harus menjadi sebuah ritual. Dilakukan diwaktu yang sama dan terus menerus. Sekali berhenti maka ia akan berhenti lagi, lagi, dan lagi. Tak ada hari libur yang tak menyenangkan. Dan sekali libur menulis berarti membuang satu kesempatan berharga untuk mencurahkan ide dalam tulisan. Ide itu akan selalu ada dalam kondisi apapun. Depresi sekalipun.
Bagi Susan, depresi bukan halangan untuk menulis. Memang menulis tak mampu mengusir depresi,tetapi depresi tak perlu melumpuhkan menulis. Ciamik sekali cara Susan membalikan cara berpikir negatif menjadi positif ini. Kebanyakan penulis akan berkata ia sedang tak dapat menulis karena tengah mengalami depresi akibat masalah lain. Susan membalikkan logikanya. Kalimat menggugah yang ditulisnya : Hari ini aku kembali meneguhkan janji untuk menulis secara teratur, tanpa tergantung suasana hatiku. Aku tahu aku bisa menulis dengan baik dalam kondisi apapun.

Menulis dalam segala kondisi. Memang butuh keyakinan dan keteguhan niat untuk itu. Alih-alih menuis dalam kondisi apapun, banyak orang yang ingin menulis tapi berdalih peralatannya tak menunjang,komputernya lambat-atau tak punya-, penanya jelek, kertasnya habis, ruangannya tak nyaman, situasinya kurang pas, masih banyak masalah, atau moodnya belum dapat. Hambatan-hambatan dalam diri itu sebenarnya bisa diatasi dengan sedikit perubahan cara berpikir.
Bukan komputer, pena, kertas, situasi, ruangan, atau moodnya yang mesti dirubah, melainkan kemauan untuk mau menulis dan melakukannya dengan rutin dalam media apapun. Komputer hanya alat bantu, jika tak ada komputer masih banyak alat tulis lainnya. Sade, pengarang dari Perancis itu sampai menggunakan darah dan kotorannya untuk menulis. Hanya karena semua alat tulisnya dirampas. Jika sade saja bisa, maka siapapun yang ingin menjadi penulis pasti juga bisa mengatasi hambatan kecil semacam itu. Tak perlu menunggu hidup yang layak dan tenang untuk mulai menulis.
Sade memang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Menjadi penulis sudah menjadi tujuan dan garis hidupnya. Dengan memiliki tujuan maka penulis akan tahu kemana ia akan menuju dan untuk apa ia kesana. Tujuan itu juga bisa dijadikan pelecut semangat kembali jika ditengah perjalanan menggapai tujuan ditemukan hambatan. Ini adalah upaya menjadikan menulis sebagai sebuah tujuan dan cita-cita untuk diraih. Sebagai sebuah ritual, menulis memang harus menjadi aktivitas yang berdedikasi.
Simak apa yang dikutip Susan dari Janet Frame berikut ini, satu-satunya hal yang pasti tentang menulis dan upaya untuk menjadi penulis adalah bahwa menulis itu harus dilakukan, bukan diimpikan atau direncanakan tanpa pernah ditulis, atau dibicarakan, tetapi hanya dengan menulis; inilah fakta menyebalkan dan menyakitkan bahwasanya menulis tidak berbeda dengan pekerjaan lainnya.
Susan adalah seseorang yang telah memilih menulis sebagai pilihan pekerjaannya. Dengan begitu ia bisa merumuskan tujuan, langkah-langkah dan strategi untuk mewujudkan pencapaian di setiap tahapnya. Seperti halnya pekerjaan lainnya, Susan juga mengalami kendala dalam menulis. Dan seperti bagaimana orang lain menyelesaikan hambatan dalam pekerjaannya, Susan juga memilih teori dan penyelesaian yang tak jauh berbeda.
Susan sadar betul, sebagai sebuah pekerjaan, menulis juga membutuhkan cara bertahan dari terpaan krisis. Naskah yang selalu ditolak, dokumen naskah hilang, keuangan yang carut marut, adalah hal lumrah seorang penulis di awal karirnya. Pada titik ini seorang penulis tak boleh menyerah. Keadaan justru sering kali terbalik pada titik ini. Yang perlu dilakukan adalah tetap bekerja teratur setiap hari, meskipun dengan waktu yang sangat terbatas, dan setia pada tujuan awal. Cita-cita untuk menjadi penulis dan terus menulis. Karena menulis sudah menjadi pilihan pekerjaan.
Dan pekerjaan menulis itu harus dimulai. Segera setelah niat dan cita-cita itu terpatri di hati. Sekarang, hari ini. Duduk dimeja dan mulai menulis. Tentang apapun. Tak perlu berpikir. Tulis saja semuanya apa adanya. Jangan lagi ada penundaan. Apa yang ada hari ini akan berbeda dengan esok hari. Setiap hari meiliki kisah dan mimpi yang berbeda.
Lompatan-lompatan pemikiran itu disusun dengan apik dan sederhana dalam buku meditasi untuk penulis yang ditulis Susan berdasarkan pengalamannya selama bekerja sebagai penulis. Susan membagi setiap halaman untuk sebuah bahasan yang bisa dibaca secara acak. Di tiap halaman ia mengutip kalimat-kalimat menggugah dari penulis lain yang telah lebih dulu mengalami masa-masa sulit kepenulisan. Kemudian ia membuat perenungannya. Lalu membangun sebuah kalimat untuk membangkitkan semangatnya sendiri. Sebuah motivasi dari dalam diri.
Topik motivasi yang dikembangkan Susan hampir mirip dan berulang. Ini memang sesuai dengan pengalaman kebanyakan penulis. Hambatan yang sama seringkali terulang lagi di masa yang berbeda. Dalam kondisi yang berbeda ini maka penyelesaiannya bisa sama bisa juga berbeda. Susan berusaha menghimpun yang terserak itu hingga siapa saja yang ingin menjadi penulis bisa membaca buku itu. Kapan saja,mulai dari mana saja tak masalah. Tanpa harus membaca keseluruhan isinya, Susan menghadirkan bacaan yang memang digunakan untuk penenangan penulis yang resah. Untuk itu ia harus ringan dan tak menambah beban.
Pemberian kesan ringan dan mendorong ini juga terlihat dalam pemilihan ukuran kertas. Bentuk kertas memanjang untuk jumlah baris yang tak terlalu penuh memberikan ruang kosong yang cukup bagi pembacanya untuk menuliskan sesuatu setelah membaca. Jenis dan ukuran huruf, jarak antar baris, dan garis tepi yang digunakan juga cukup memudahkan pembaca untuk membaca cepat. Penulis pemula atau kawakan sekalipun, perlu membaca tulisan Susan ini. Caranya melahirkan ilham dan semangat baru bisa menjadi meditasi yang menenangkan bagi penulis yang tengah berproses.