Sabtu, 18 April 2009

Wendo Bilang Mengarang Itu Gampang, Kataku TIDAK!

Diana AV Sasa

Mengarang Itu Gampang
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : PT Gramedia (1981-2001)

“Jangan hanya membaca. Kalau saat itu sudah mencoba mengarang, pasti lain halnya. Untuk yang terakhir ini saya percaya penuh. Cobalah mengarang sekarang juga, jangan menunggu dua puluh tahun lagi. Jangan menunggu dua hari lagi. Sekarang juga. Tutup buku ini, mulai.” Begitu tulis Arswendo dalam pengantar edisi kedua buku Mengarang Itu Gampang yang sudah lebih dari 5 kali cetak ulang selama sepuluh tahun sejak 1981 hingga 2001. Paragraf terakhir Arswendo itu mendorong saya untuk terus memamah isi bukunya.

Sebagai penulis pemula, kata-katanya cukup melecut untuk penasaran mengetahui trik dan resep apa yang dipunya seorang maestro agar menulis (baca: mengarang) bisa lebih mudah dan ciamik. Maka saya pun menekuni setiap bab pada buku itu dengan gairah yang menyala.

Buku itu tak terlalu tebal. Hanya 118 halaman. Cukup ringan untuk sebuah buku panduan. Ditulis dengan teknik tanya jawab. Gaya bahasanya juga ringan dan bertutur meski materi bahasannya berat. Wendo tampaknya cukup mahir menjadikan yang berat jadi enteng, yang berkabut menjadi jernih dan terang.

Tapi ada “tapinya”. Saya jadi jenuh saat memasuki lembaran tengah. Semangat dan gairah yang sejak awal saya sulut mendadak meredup dan menghentikan alur baca saya hingga hanya membaca sekilas lalu.

Pada awal bab, Wendo mengajak pembaca untuk melihat alasan mengapa menurutnya mengarang itu gampang. Ada 4 pondasi yang diletakkannya untuk mengatakan menulis itu gampang. Pertama, harus bisa membaca dan menulis. Syarat ini tentu banyak yang bisa memenuhi, tak terlampau sulit.

Kemudian pondasi berikutnya adalah minat dan ambisi yang terus-menerus. Membaca dan menulis yang baik perlu latihan, perlu disiplin, perlu minat yang tak kunjung habis. Minat dan ambisi seperti juga rasa cinta, selalu ada, terus mengalir. Ini didasarkan pada kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang dicintai, dan kita percaya, ada Sesutu yang baik yang akan kita lakukan dengan itu.

Wendo benar tentang ini. Rasa cinta memang membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan ringan dijalani. Jika sudah ada rasa cinta, maka langkah akan mengalir dengan sendirinya. Semangat ini menjadikan menulis terkesan mudah.

Pondasi sudah diletakkan. Wendo kemudian menuntun memahami bagaimana meramu sebuah ilham sehingga menjadi ide. Diperlukan dua hal yang bisa menjadi kompas: Untuk apa kamu menulis? Apa sebenarnya kemauanmu menulis? Di sinilah peran pandangan penulis terhadap sebuah ilham sangat menentukan. Pada bagian ini penulis bisa memilih ingin menggabung realitas dan imajinasi dengan porsi dan cara bagaimana. Sebagian atau keseluruhan, terserah penulisnya.

Ide yang sudah ada itu hanya akan menjadi sebatas ide jika tak dituliskan. Maka segera saja mulai menulis. Jika belum siap, bisa diawali dengan membuat coretan tentang ide dasar yang ingin dikembangkan. Untuk itu diperlukan pengetahuan tambahan. Maka penulis harus mencari informasi pendukung idenya itu sehingga bahan yang akan diolah makin banyak.

Saya sepakat dengan Wendo. Di era internet ini, mencari bahan pendukung penulisan sudah bukan hal sulit. Cukup tanyakan Paman Google, dan segudang bahan akan tersedia. Hanya tinggal diperlukan kemahiran menguatak-atik bahan dan menyelipkan gagasan kita dalam rangkaian tulisan.

Tugas seorang pengarang sebenarnya adalah menggabung-gabungkan hal yang sepertinya tak ada hubungannya menjadi saling terkait. Ini adalah seni menulis kreatif yang merupakan sikap dasar penulis. Kreatif menggabung-gabungkan, seperti menjahit kain perca hingga menjadi lembaran warna-warni yang cantik dan unik berirama.

Sampai tahap ini saya masih cukup mengikuti alur buku ini. Memasuki bahasan berikutnya, saya mulai jenuh. Ini seperti mendapat pelajaran mengarang di sekolah. Beberapa macam jenis plot dipaparkan. Plot dengan ledakan, plot lembut, plot lembut meledak, plot terbuka, plot tertutup, sampai bagaimana mengembangkan plot.

Plot yang sudah didapat, tulis Wendo, harus dikembangkan dengan mencari sebab agar mendapat kesimpulan akibat. Kemudian bagaimana plot ini dikunci dengan penutup dan akhir yang tepat. Selanjutnya diulas bagaimana menghadirkan tokoh, memilih tempat/lokasi cerita dan penggambarannya. Diakhir baru dibahas mengenai tema.

Ini agak janggal, karena tema biasanya justru dibahas diawal sebagai sebuah bagian besar dari rentetan teori sebelumnya. Ini barangkali seperti teori paramida terbalik. Yang besar ada di belakang.

Teori yang coba disederhanakan dengan cara dialog ini memang menjadi terkesan ringan, namun tetap saja membuat kepala penuh teori yang mengesankan mengarang jadi berat dan susah karena banyak aturannya. Bagi penulis pemula, hal ini membuat awal menulis jadi terasa berat sekali. Aturan hanya membuat ide penulisan cupet. Belum-belum sudah dihadang aturan yang menggertak bahwa tulisan yang tidak patuh aturan adalah tulisan buruk.

Tips dan trik yang saya harapkan tidak terlampau terpenuhi sampai halaman ke 65 buku ini. Saya hanya seperti mendapat pengulangan dari pelajaran mengarang saya di sekolah. Pada sisa bab yang ada, penulis memberikan bonus pengetikan dan ejaan yang baik. Ini menjadikan beban untuk memulai tambah berat dipundaki.

Baru mau mengawali sudah tambah beban ejaan yang rumit diingat. Mau mulai mengetik saja sudah khawatir ejaan dan bahannya tidak tepat. Materi tambahan ini jika tidak suka bisa dilewatkan saja, karena meski menulis dengan ejaan yang benar itu lebih baik dan penting, namun tugas itu bisa menjadi lebih ringan ketika dibagi dengan editor yang lebih menguasai ilmunya. Tugas penulis adalah menulis.

Bonus lain di bab akhir adalah bagaimana mengirim karangan ke media. Bagaimana antisipasi jika karangan ditolak. Hingga sistem pembayaran honor. Pentingnya membaca karya satra, dan juga beberapa pekerjaan alternatif yang bisa dijadikan sandaran hidup seorang penulis. Walau saya kurang yakin, Wendo tetap keukeuh menyakinkan untuk percaya bahwa mengarang itu gampang. Tinggal menjajal dan membuktikannya. Percaya bahwa mengarang itu pekerjaan terhormat, tidak kalah dan tidak lebih daripada profesi-profsi lain.

Buku ini adalah buku yang cukup legendaris pada era 80an. Ketika itu menulis masih belum dianggap pekerjaan menjanjikan. Sehingga kehadiran buku ini cukup membantu sebagai panduan bagi mereka yang ingin mulai menekuni dunia tulis menulis. Nama besar seorang Arswendo mempengaruhi larisnya buku ini di pasaran. Saya pribadi sebagai penulis pemula, melihat buku ini lebih sebagai panduan menulis dengan baik, bukan sebuah buku yang memberikan tips dan trik menulis sehingga menjadi mudah.

Alasan kecintaan pada profesi memang bisa membantu beban menjadi ringan, namun untuk menjadikannya mudah butuh panduan dan penjelasan yang mudah dimengerti pula. Buku ini tidak cukup mengakomodir itu. Gaya penulisannya memang ringan, namun topik bahasannya berat. Contoh-contoh buku yang dihadirkan pun cenderung jarang dikenal. Sebut saja The Social Construction of Reality-nya peter l berger dan Thomas Luckman, Little House on the Priere-nya Laura Ingall Wilder, Untung Suropati-nya Abdul Muis, dan sebagainya. Bagi yang tidak pernah membaca buku ini akan sulit sekali menangkap penggambaran yang dimaksudkan penulis.

Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, buku ini layak menjadi referensi bacaan dan panduan bagi mereka yang telah rajin menulis, telah menemukan menulis sebagai sebuah aktivitas yang penuh disiplin dan ingin mengembangkan kemampuannya sehingga tulisannya lebih bernas. Pada akhirnya mengarang tidak menjadi lebih gampang setelah membaca buku bertabur teori ini.