Selasa, 27 April 2010

[ Book for Good ] Biografi Setengah Hati Hatta

Judul : Hatta:Hikayat Cinta dan Kemerdekaan
Penulis : Dedi Ahimsa Riyadi
Penerbit : Penerbit Edelweiss (2010)
Tebal : vii+279

Ini kisah tentang 4 ‘istri’ yang begitu dicintai: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi. Dengan menyajikan sosok Mohammad Hatta, sebagai figur bapak bangsa yang demikian mencintai bangsanya. Juga rakyat dan buku-bukunya hingga rela bersumpah tak akan menikah sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai, Dedi Ahimsa Ariadi, menasbihkan buku ini sebagai sebuah novel biografi.

Dedi memfigurkan seorang Hatta sebagai sosok yang bak aose di tengah gurun. Ketika situasi negeri tengah digoncang krisis kepemimpinan akibat beberapa tokoh pergerakan ditangkap dan diasingkan pemerintah kolonial Belanda, Hatta tampil sebagai orang yang paling lantang berteriak bahwa pergerakan menuju Indonesia merdeka.

Tak boleh bergantung pada figur individu. Dengan sepenuh keyakinan dan semangat ia terus menyuarakan dan menjaga semangat kemerdekaan. Melalui tulisan dan pengkaderan di daerah-daerah, Hatta meyakini dapat memunculkan pemimpin-pemimpin baru.

Dituturkan dengan bahasa sastra yang bertabur metafora, Dedi berhasil mengaitkan antara akibat pembajakan kapal perang Belanda HNMLS De Zeven Provinciёn oleh awak kapal pribumi dan Eropa sebagai bentuk protes atas pemangkasan upah, dan penangkapan beberapa awak kapal hingga menjadi sorotan internasional dan membuat pemerintah kolonial gusar.

Dengan terjadinya krisis kepemimpinan di negeri ini setelah Soekarno-tokoh yang menjadi panutan rakyat saat itu- ditangkap dan diasingkan. Sampai ditiik ini, Dedi sukses menampilkan latar kemunculan Hatta sebagai tokoh bangsa.

Hatta kemudian ditilik latar belakang masa kecil hingga mudanya. Dengan gaya orang ketiga, diceritakanlah bagaimana Hatta lahir di lingkup keluarga berbudaya minang yang umumnya matrialkal namun keluarga Hatta menganut patrialkal.

Digambarkan pula pondasi keagamaan Hatta yang tersemai sejak belia hingga kemudian hari prinsip keagamaan itu menjadi pegangan dan sandarannya dalam memilih jalur pergerakan. Tuturan hingga 4 bab ini cenderung deskriptif dan naratif, sangat miskin dialog .

Hingga tokoh Hatta terbangun melalui perspektif penulis. Pembaca tak mendapat kesempatan untuk membuat penilaiannya sendiri. Meski ada novel yang bergaya seperti ini, namun sangat jelas bahwa apa yang dikisahkan Dedi adalah biografi sesungguhnya dari seorang Hatta.

Tak ada imajinasi apalagi fiksi tergambar. Maka pada separuh buku ini sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa buku ini adalah sebuah biografi yang diceritakan dengan gaya bahasa sastra, bukan novel.

Separuh bab yang tersisa mengisahkan perjalanan Hatta dalam menempuh pendidikan di Belanda, sampai kembali ke Indonesia dan memimpin organisasi pergerakan, ditangkap, diasingkan.

Lalu bergelut dengan tulisan dan buku, hingga takdir membawanya ke gerbang kemerdekaan Indonesia sebagai proklamator-penandatangan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Jika sempat membaca biografi Hatta di Wikipedia, maka isi bab ini tak terlampau jauh dari itu. Nyaris tak ada yang menyimpang dan tak ada yang baru.

Sekali lagi, Dedi gagal membangun novel dengan alur dan penokohan yang memikat. Ia tuliskan biografi Hatta dengan apa adanya. Sungguh ini sebuah biografi bergaya sastra, bukan novel. Alurnya melompat-lompat dan cenderung banyak melakukan replikasi deskripsi latar baik tempat maupun tokoh.

Keberhasilannya hanya pada gaya metafora penggambaran deskripsi tempat dan suasana yang bagi pembaca muda (baca:kecil) dapat menumbuhkan imajinasi. Tapi bagi pembaca dewasa, metafora ini cenderung berbuih-buih menjemukan. Buku ini cocok bagi pembaca pemula yang belum pernah membaca referensi lain mengenai Hatta.

Niat Dedi sepertinya adalah ingin menunjukkan bagaimana seorang Hatta demikian mencintai negaranya, rakyatnya, dan buku-bukunya hingga barani bersumpah palapa tak akan menikah sebelum kemerdekaan tercapai.

Namun sayang, tak tercermin seberapa dingin Hatta terhadap wanita. Padahal bila Dedi membaca buku Biogrfai Soekarno yang ditulis Cindy Adams, ia akan menemukan gambaran itu. Janji itu memang dipenuhi Hatta. Ia menikahi Rahmi 3 bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Namun sebagai sebuah novel biografi, Dedi gagal menyajikan potongan peristiwa yang membentuk alur dan penokohan bernada fiksi.

Dedi menulis biografi dengan gaya sastra (karna bertabur metafora). Maka selayaknya label novel biografi yang ia sandangkan dibuku ini ditilik ulang kelayakannya bila tak ingin dikata mengecoh pembaca(DS).