Diana AV Sasa
Panggung orasi DBUKU Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya, siang ini (17/7) menyajikan orator Benny Wicaksono, seorang pelaku dan pegiat New Media Art potensial dari Surabaya. DBUKU Bibliopholis berusaha menghidupkan kembali tradisi orasi sebagai sebuah tradisi teater kesadaran. Mengikuti kronik sejarah, umumnya orasi-orasi itu dipanggungkan anak-anak muda berusia belia. DBUKU Bibliopois juga mengundang anak-anak muda berpikiran progresif itu untuk maju.
Panggung ini dinamakan “Orasi Satu-7-an”. Bukan saja dilaksanakan di tiap-tiap tanggal 17 bulan berjalan, melainkan merefleksikan tanggal 17 (Agustus) sebagai tanggal revolusi Indonesia di mana orasi dari esei paling memukau, naskah Proklamasi, dibacakan oleh salah satu manusia orator yang pernah dilahirkan Surabaya dan Indonesia, yakni Sukarno.
Berikut ini isi orasi yang disampaikan Benny Wicaksono :
Forum-forum seperti ini sangat langka di kota industri seperti Surabaya. Perbincangan yang sifatnya kebudayaan sudah terabaikan. Apalagi anak-anak muda kita lebih cenderung gemar ke mall dengan menghabiskan waktu, uang, dan peluang untuk hal-hal yang kurang produktif dan bersifat konsumtif.
Dbuku Bibliopolis yang hadir sebagai sebuah perpustakaan di mall adalah sebuah tawaran alternatif dari hal-hal yang sifatnya pragmatis, konsumtif. Ini model pemberontakan anak muda yang meskipun dalam diam, namun sesungguhnya menyajikan sebuah pemberontakan. Ini adalah model suatu agenda sejarah yang memberikan tawaran wilayah alternatif dari kesesakan hal-hal yang sifatnya pragmatis.
Gerakan ini penting dilakukan oleh anak muda. Karena anak muda di Indonesia kurang memahami nilai dasar dari budaya yang mereka gandrungi saat ini. Mereka kurang mengerti bahwa budaya dari luar negeri yang mereka serap sesungguhnya memiliki semangat pemberontakan revolusioner terhadap kondisi sosial di negeri asalnya. Bukan sekedar gaya yang dianggap modern, keren seperti yang mereka rayakan saat ini.
Semestinya anak-anak muda menyediakan sedikit waktu untuk belajar bagaimana counter culture itu muncul sebagai sebuah bentuk protes yang sangat cerdas dan intelektual. Bukan sekedar perayaan dari ungkapan yang sinis. Protes itu pada sejarahnya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa.
Budaya hip hop yang lahir di Inggris itu berasal dari kaum yang meneriakkan segala caci maki dari tekanan hidup, perayaan kemiskinan, di tengah kemakmuran negeri yang makmur. Hip-hop kemudian menjadi suatu model pemberontakan yang mendunia. Sebuah budaya perlawanan yang alamiah.
Lantas bagaimana model pemberontakan budaya model Indonesia? Saya pesimis. Apakah ketika budaya Metal (melayu total) merajalela, itu adalah sebuah pemberontakan budaya? Bisa jadi. Apakah karena kita melayu kita menjadi sendu dan mendayu dayu? Ini mungkin pemberontakan yang dilakukan oleh anak muda yang penuh penampilan sangar, gahar, penuh anting, simbol-simbol pemberontakan tapi melagukan lagu cengeng, menghiba-hiba, tanpa melakukan suatu semangat, tanpa membangun suatu apresiasi. Kemudian mereka menjadi sangat terkenal dan semua anak muda menirunya.
Orang-orang yang berada dibalik kerja media adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap semua model informasi dari barat yang disampaikan kepada masyarakat luas.Budaya televisi sangat perlu disoroti. Ada pendapat bahwa televisi akan membuka cakrawala pemikiran, menembus batasan informasi, membawa ke ujung dunia. Tapi apakah benar televisi itu ada disini?
Memang ada beberapa televisi yang membawa suatu demokratisasi informasi tapi presentasinya sangat kecil. Televisi kita hanya bicara soal rating. Program harus ditonton orang banyak, dimunculkan sebagai sebuah model pembenaran, model realitas dan menambah pundi-pundi. Akhirnya sebuah model budaya yang irasional hadir melalui program televisi, memasuki ruang-ruang suci keluarga Indonesia, meracuni sendi-sendi pemahaman anak-anak bangsa. Dan kita merayakan dengan gegap gempita.
Ini adalah konsekuensi sebuah tehnologi. Teknologi itu kemudian menyerang, mencaplok sisi-sisi kecerdasan anak muda yang notabene mereka seharusnya diberi informasi yang membangun kepribadian, kecakapan, dan nilai-nilai moral. Apa boleh buat, semua ini memang ada dalam suatu kondisi global dimana kapital sudah memegang penuh sistem yang ada.
Tidak bisa tidak yang bisa kita lakukan adalah membangun cara berpikir pemberontakan kebudayaan. Membangun model dari cara berpikir alternatif, cerdas, rasional, yang sanggup memberi satu pemahaman baru kepada generasi muda Indonesia.
Sebagai anak muda, saya yakin, dengan rasional kita bisa maju, bertahan, di tenah gelombang modernisme dan kapitalisme global. Kita harus membuka cakrawala pemikiran kita dan pemahaman yang maju. Dan itu bisa kita dapatkan dengan belajar dari alam dan apa yang ada di sekitar kita, salah satunya adalah membaca buku.
*Profil Benny bisa dilihat disini http://indonesiabuku.com/?p=714