Kamis, 12 November 2009

Membaca Fiksi dalam Tanda-tanda Nano

Judul : Sign Fiction :The Art Of Nano Warsono
Karya : Nano Warsono
Penerbit : Langgeng Gallery
Edisi : Pertama, April 2009 (500 exp)
Ukuran : 25cm x 21 cm
Tebal : 203 + xxviii
Genre : Buku Visual

Sign Fiction: The Art of Nano Warsono, begitu ia memberi tajuk monografnya. Nano Warsono, perupa asal kota Gandul, Wonogiri yang sekarang menetap di Yogyakarta ini, bukan sekedar membuat sebuah album karya atau kronik rekam jejaknya berkesenian, tapi ia tengah memindahkan galeri dimana karya-karyanya pernah dipajang, ke dalam media yang lebih kecil: buku.

Melalui buku, Nano membawa pembacanya untuk berlama-lama menikmati dan menyelami setiap karyanya. Buku itu bisa dibaca berkali-kali tanpa terbatas waktu seperti bila pameran di galeri. Begitu buku dibuka, karya itu tergelar dan siap dinikmati dengan atmosfer yang berbeda-beda.

Dengan buku, Nano memberi kesempatan lebih banyak orang untuk ‘membaca’ karya senirupanya. Itu berarti juga membuka peluang lebih besar agar pesan-pesan dalam karya Nano turut pula menyebar meluas. Dan seperti umumnya karya seni, pesan-pesan itu tidak tersurat namun tersembunyi dibalik tanda-tanda yang tak nyata, fiksi.

Tanda-tanda fiksi itu disajikan Nano dalam serangkaian bab yang disebut Hendro Wiyanto dalam pengantarnya sebagai “panel-tunggal-fiksi-sejarah bergambar”. Maka Nano pun mengajak pembacanya untuk mencari tanda itu dengan mengamati perjalanannya di jagad senirupa melalui karya Drawing & Comic (gambar dan komik), Painting (Lukis), Mural, dan Sculpture (patung).

Meski ia menggunakan aneka media garapan untuk gambar, mural, patung, instalasi, sampai lukis, namun ada satu kesatuan yang utuh dalam karyanya. Dan itu hanya bisa dinikmati bila dibaca runtut. Tentu sangat memungkinkan bila karya ini ingin dinikmati secara acak. Seperti halnya karya yang dipajang di dinding galeri, ia bisa dinikmati dari mana saja, tidak mesti dimulai disatu titik dan diakhiri di titik tertentu pula.

Dalam bab Drawing&Comic yang menghabiskan 2/3 bagian dari seluruh halaman Sign Fiction, terlihat sekali tema-tema yang diangkat Nano melalui karyanya adalah semacam kegelisahan dan pemberontakan akan realitas yang ditemuinya semasa tahun 90an hingga awal 2000an. Masa dimana ia masih seorang mahasiswa Institut Seni Indonesia di Jogja, juga masa dimana Indonesia sedang mengalami transisi kepemimpinan nasional dan carut perekonomian. Masa ini terkesan suram dan berat dalam karya Nano. Ada kegelisahan dan pemberontakan yang demikian berat tersirat melalui garis hitam, karakter seram, dan kutipan-kutipan bernada satirnya.

Beragam sekali aspek yang ditampilkan Nano di bab ini. Nano seperti ingin menunjukkan bahwa masa pencarian yang ia lakoni bersama gambar dan komiknya adalah masa yang bukan saja rumit tapi juga berat. Ada paradoks antara apa yang ia baca dan ia lihat. Ada ketimpangan antara barat dan timur. Nano melihat efek sosial setelah budaya barat dan globalisasi merajai segala sendi kehidupan.

Nano membaca bagaimana ketika manusia semakin takhluk pada tehnologi, ketika informasi dikuasai tehnologi, ketika mesin mengalahkan manusia bahkan mendorong manusia menjadi mesin yang kehilangan naluri kemanusiaannya, Nano membaca itu sebagai realitas yang perlu dipertanyakan ulang maknanya.

Nano juga mempertanyakan kembali makna pahlawan ditengah serbuan tehnologi canggih. Maka kemudian muncul tokoh-tokoh superhero macam Batman yang menjadi Badman. Atau Osama bin Laden yang berada diatas seluruh superhero macam Superman, Spiderman, Heman, dan sebagainya. Ada pula superhero yang mejadi jahat dan penjahat yang digambarkan menjadi karakter baik.

Bab Drawing & Comic ini juga memperlihatkan bagaimana seorang Nano berproses dengan setiap pengalaman dan realitas dalam diri maupun diluar dirinya. Dengan menonjolkan obyek utama berupa botol, tubuh, dan pohon, Nano mengurai kegelisahan personalnya terkait teman, keluarga, kekasih, dan jati dirinya. Berbagai macam wacana yang ditemuinya bercampur dalam otaknya dan keluar mencari pemaknaan baru.

Kegelisahan akan wacana yang berkembang ini juga nampak dalam beberapa karya yang menonjolkan obyek-obyek seperti buku, simbol-simbol agama, nama-nama filsuf, ikon tehnologi, dan pola-pola gambar dengan karakter mind-mapping (peta pikiran). Juga terlihat pada petikan kalimat yang ia tulis dalam gambarnya, seperti “Dan memberontak adalah salah satu cara bertahan hidup yang tepat melawan kemapanan”, atau “Aku butuh sesuatu yang baru, bukan dogma-dogma yang kuno”.

Setelah menikmati gejolak kegelisahan dan perlawanan dengan nuansa hitam putih yang agak suram, pembaca akan diajak menilik karya Nano dalam wujud lukisan. Dalam karya ini, Nano terlihat seperti menemukan kecerahan dan keceriaan. Warna-warna mencolok dan berani membuat karakter lukisannya yang cenderung komikal semakin berkesan kuat dan keras. Disini Nano mulai menyatukan karyanya dalam satu tarikan tokoh komik yang ia pinjam untuk menyampaikan pesan pemberontakannya akan realitas masyarakat urban di sekitarnya.

7 halaman bab mengenai karya mural Nano, memberi pembaca sedikit gambaran kedalaman dan keluasan wacana dan wawasan seorang Nano, yang ketika itu diungkapkan pada media bebas semacam tembok, ternyata menghasilkan karya yang bukan hanya memiliki estetika tinggi namun juga pesan yang jelas. Karya mural Nano terjejak di Jepara, Jogja, dan Sanfransisco.

Meski tak terlampau banyak, Nano juga membuat patung. Karya patung yang dibuatnya sekira tahun 2001 masih menampakkan ornamen yang menunjukkan detil. Ini tak lepas dari latar belakang Nano yang dari Jepara dan dekat dengan tradisi ukir kayu. Setelah tahun 2006, patung yang dihasilkannya sudah mengikuti alur lukisannya: komikal dan berwarna mencolok. Dalam setiap karyanya, Nano seperti mengajak pembaca untuk berhenti sejenak, merenung dan menemukan tanda-tanda pesan yang ingin ia sampaikan.

Persembahan karya visual itu diakhiri dengan sebuah diskusi mengenai Nano dan karya-karyanya. Transkrip wawancara yang dilakukan Rain Rosidi (seorang kurator senirupa) ini memberi gambaran bagaimana Nano memandang suatu karya senirupa. Juga dapat diketahui dasar filosofi Nano dalam berkesenian. Pilihan Nano untuk masuk dunia senirupa professional, dan perkembangan/perubahan karya-karyanya tercakup pula disini. Ditambah sedikit profil dirinya, kita akan memahami mengapa dan bagaimana karya-karya Nano bernuansa komik dan cenderung detil.

Sedikit kekurangan pada Sign Fiction adalah penggunaan bahasa Inggris pada judul Bab dan bagian Profile yang tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Memang tidak mengganggu, hanya tidak konsisten. Penggunaan bilingual (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) semakin memungkinkan Sign Fiction untuk diterima masyarakat senirupa secara lebih luas. Buku ini tepat bagi mereka yang menekuni seni rupa dan membutuhkan tambahan referensi visual. Namun juga bisa dijadikan alternatif lain para penggemar fiksi.

Seperti lazimnya sebuah buku, Sign Fiction juga menyertakan pengantar. Kali ini pengantar itu dituliskan FX Widyatmoko Koskow (seorang cover designer, dosen ISI, dan juga editor visual Sign Fiction) yang mengambil judul Wonderline, Garis Negosiatif, Hendro Wiyanto (Kurator) dengan Post-Colonial Pop, dan Arahmaiani dengan Dunia Komik Dalam Karya Nano Warsono.

Pengantar ini memang membantu pembaca untuk mendapat gambaran kesatuan pesan dalam karya Nano, namun sebagaimana karya seni/sastra maka akan lebih nikmat bila karya itu dinikmati tanpa derecoki pendapat dari penikmat yang lebih dulu membacanya. Mengabaikan pengantar-pengantar itu sama baiknya seperti mengabaikan endorsement di sampul belakang buku best seller.
Buka saja bagian karyanya, dan temukan setiap tanda-tanda dalam fiksi gambar yang ingin disampaikan Nano. Karena setelah ide terlahir menjadi karya (baca: buku), maka ia bebas menghadapi sidang pembacanya. (Diana AV Sasa- Penulis Buku “Monumen Ingatan: 100 Seniman Indonesia Membaca Baca Bacaan”)

Minggu, 11 Oktober 2009

"Menjual" Indonesia Dari Dalam Taksi

JUDUL : Indonesia For Sale
PENULIS : Dandhy Dwi Laksono
EDITOR : Hadi Rahman
PENERBIT : Pedati
TEBAL BUKU : XV + 311
TAHUN TERBIT : Oktober, 2009
DIMENSI :
ISBN : 979-9682-09-6
HARGA : Rp. 52.000,-

Perjalanan Dandhy Dwi Laksono suatu siang di tahun 2009, seperti kunci untuk membuka kotak pandora. Mengetahui apa dan bagaimana melihat semua hal di Indonesia dengan kacamata yang sangat sederhana. Hingga sampai pada kesimpulan: Waktunya kita menjual Indonesia. Yup. Indonesia for Sale!

Bagi banyak orang, berbicara dengan sopir taksi dalam sebuah perjalanan, adalah hal biasa. Tapi tidak bagi Dandhy Dwi Laksono. Mantan jurnalis televisi ini justru menemukan banyak hal, saat berbicara dengan sopir taksi yang membawanya. Apalagi, perbincangan di sela kemacetan itu secara tidak sengaja mengurai berbagai persoalan di Indonesia. “Bang, macam mana, kok bisa harga bensin turun lagi? Tumben sekali pemerintah. Apa karena bensin tidak laku?...” Begitu Dandhy mengawali paragraf bagian pertamanya.

Perbincangan soal bahan bakar minyak (BBM) mengawali semua hal di buku ini. Masuk akal. Karena di Indonesia atau bahkan di dunia, BBM seperti buah saklar yang bisa digunakan untuk “menghidupkan” dan “mematikan” berbagai hal. Bila saklar itu dipencet, banyak hal yang akan terjadi. Yang paling gampang untuk diraba adalah, kenaikan itu merupakan komoditi. Komoditi? Bagaimana menjelaskan kenaikan BBM merupakan komoditi kepada sopir taksi? Di sinilah letak kepiawaian penulis kelahiran Lumajang, 29 Juni 1976 ini. Sekaligus merupakan keunggulan buku ini.

Dandhy memulainya dengan membuka tabir kerumitan perekonomian dunia dengan menjelaskan betapa minyak mentah (crude) diperdagangkan dengan international market place atau harga pasar internasional. Nah, di dalamnya ada spekulasi dan politik energi. Nah, karena itu juga, bukan tidak mungkin harga BBM akan naik turun mengikuti harga minyak dunia. Melalui topik yang sama, mantan koordinator liputan RCTI ini meraba pejelasan sederhana spekulan yang biasa bermain di future trading. Jangan pernah membayangkan penjelasan itu njilet (baca: rumit). Karena memang tidak seperti itu.

Pemakaian tokoh fiktif Mr. Smith di buku ini, memudahkan semua penjelasan itu. Hingga sampai pada kesimpulan, mengapa Indonesia, yang notabene negara penghasil minyak, justru didekte oleh pihak lain yang justru sama sekali tidak memiliki sumur minyak. Logika yang berbalik ini bagai menghempaskan nasib bangsa ini. Hal yang sama juga terjadi pada produk pangan. "Situasi seperti ini adalah gambaran (terlalu) sederhana dari jebakan struktural yang menciptakan kemiskinan tidak berkesudahan." tulis Dandhy.

Buku yang diawali dari sebuah diskusi antara Dandhy dan sang editor Hadi Rahman ini memang memiliki keunggulan “enak dibaca”. Tidak hanya oleh orang-orang yang memiliki hasrat yang sama untuk menyelamatkan Indonesia yang mulai “terjual”, tapi juga oleh orang-orang yang ingin memahami persoal pelik ekonomi politik dengan bahasa yang sederhana. Namun, kesederhanaan itu tidak kemudian menjadikan persoalan semakin tidak jelas. Bahkan, bisa-bisa kita hanya bisa geleng-gelang kepala sambil bergumam,”Ternyata, Indonesia memang dalam bahaya.”

Simak saja bagaimana Dandhy berbicara soal Neo Liberal atau akrab disebut Neolib. Kata ini sempat begitu terkenal saat Pemilihan Presiden RI 2009. Terutama saat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menggandeng Boediono sebagai calon wakil presiden RI. Nah, Dandhy secara lugas menjelaskan Neolib itu “Pokoknya lebih jekam dari PKI (Partai Komunis Indonesia).” Kok? Yang maksudnya, dengan ideologi Neolib, orang mati akan kesusahan untuk dikubur. Karena tanah kuburan perlu untuk dibayar. Hal itu terjadi lantasan dalam kacamata Neolib, semua hal itu ada harganya. Bahkan di Cikarang, Jawa Barat, ada tanah kuburan yang seharga milyaran rupiah. Komersialisasi semacam ini, menurut Indonesia For Sale menyandera kepentingan rakyat kecil.

Salah satu contoh yang dikutip Dandhy dalam buku ini adalah pengkaplingan pantai oleh instansi wisata dan perhotelan tertentu. Bagaimana bisa, pantai yang notabene adalah ciptaan Tuhan itu harus dikapling-kapling seperti yang terjadi di Anyer dan Ancol. Hal ini jelas tidak benar. Harus ada regulasi yang mengatur untuk boleh mengkomersilkan ciptaan manusia, tapi tidak untuk kekayaan alam yang ciptaan Tuhan. Dalam persoalan air misalnya. Siapapun bisa menjual air dalam kemasan, tapi tidak boleh mengkapling mata airnya. Begitu juga soal frekuensi yang tidak boleh dikangkangi oleh siapa pun.

Sayang, dalam sosok Boediono yang kini Wakil Presiden 2009 versi KPU, yang juga merupakan sosok yang sering ditunjuk hidung soal Neolib, Dandhy tidak secara tegas menunjukkan sikapnya. Lulusan Universitas Padjajaran Bandung jurusan Hubungan Internasional justru berputar-putar dengan komentar orang-orang lain tentang Boediono. Dalam bab selanjutnya, Dandhy asyik melembahkan sauh ke belakang. Mencari akar kebijakan Neolib dengan mempelajari liberalisasi ekonomi yang ditulis Adam Smith pada 1776.

Dengan kepiawaian yang dimiliki, Dandhy kembali cerdas mengulas bagaimana Adam Smith menjadi begitu diminati orang-orang digenerasinya. Bahkan sampai saat ini. Termasuk mengulas hubungan institusi agama yang menjadi pemicu berjutanya Adam Smith-isme. “Jadi kalau aku mengatakan bumi bulat dan tidak datar lalu aku dicambuk oleh agamawan karena dianggap kafir, aku pasti menjadi pendukung Adam Smith,” tulisnya. Namun, ketika atmosfir penulisan sudah menjadi begitu mengerucut, Dandhy menghempaskan dengan kenyataan bahwa sistem ekonomi modal ini kemudian bisa invalid, dengan munculnya modal-modal baru. Nah lu!

Keberanian Dandhy mengutip ajaran-ajaran Muhammad, memberikan warna tersendiri. Seperti menampar wajah kapitalis (baca: Neolib) yang seringkali dianggap “biasa”. Perdagangan modal sebagai akses perkembangan kapitalis sudah ditentang Nabi Muhammad ratusan tahun sebelum ajaran Adam Smith dituliskan. “Rasullah melaknat orang yang memakan riba,” kutip Dandhy dibukunya. Tidak hanya itu, ketika permainan harga bahan-bahan dimainkan oleh pasar international, Dandhy juga menemukan antipatinya dalam ajaran Muhammad.

Karena berbagai kenyataan itulah, dalam Indonesia For Sale, pemimpin situs Aceh di masa DOM, Acehkita.com ini merasa heran dengan kelakuan aktivis Islam yang lebih suka merasia buku-buku sosialisme dan komunisme dibanding text book kapitalisme. “Aku pun heran bila ada ulama yang ikut-ikutan tentara membenci komunis tapi gagap menghadapi kapitalisme atau liberalisme,” tulis Dandhy. Padahal Karl Marx, embahnya sosialis mengatakan agama sebagai candu hanya dikaitkan dalam etos kerja dan tak ada kaitannya dengan teologi.

Sisi lain yang membuat buku ini menjadi berbeda adalah keberanian Dandhy untuk memberikan warna kekinian dari sejarah masa lalu. Seperti saat Dandhy mendiskripsikan sejarah William Wallace yang pernah difilmkan dalam Brave Heart dengan Mel Gibson. Dandhy juga tidak ragu mengutip sebuah film berjudul 300 yang menokohkan kaum Spartan. “Spartannnnn,..hah huh hah huh,” tulisnya. Meski demikian hal itu tidak menjadi sisi nasionalisme dan kesejahteraan yang merupakan dua picing mata yang saling berhubungan menjadi tidak terjelaskan.
Dalam konteks Indonesia, keduanya lebih banyak berbenturan. Terutama ketika dalam era enam presiden, keseimbangan antara nasionalisme dan kesejahteraan mengalami pasang surut.

Indonesia for Sale ingin kembali mengingatkan khalayak, bahwa sejarah telah mencatat kesejahteraan versi Orde Baru adalah sebuah hal yang semu. Kesejahteraan menjadi semacam opium yang membius kesadaran. Saat tertidur kekenyangan, ladang kita telah tergadaikan. Saat kita terlelap mesra, tanah air yang dulu direbut kakek nenek kita dengan darah, tiba-tiba ditumbuhi taman belukar berwujud dolar. Dengan plakat besar di depannya: Indonesia for Sale.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Krisdayanti: Meraih Bintang dengan Buku

Diana AV Sasa

Jika Anda ingin tidak dilupakan orang segera setelah Anda meninggal dunia, maka tulislah sesuatu yang patut dibaca atau buatlah sesuatu yang pantas untuk diabadikan. (Franklin)

Krisdayanti (KD), begitu orang mengenalnya. Ia dikenang karena lagu-lagunya beberapa kali merajai pasar musik Indonesia hingga manca. Permainan perannya di layar kaca sempat memukau dan menguras air mata ibu-ibu pecinta sinetron. Tampilan panggungnya glamor, atraktif, dan memikat. Setiap gaya rambut, pakaian, hingga alisnya menjadi barometer trend para perempuan. Ia menjadi sorotan halayak. Kiprahnya dikenang dan tercatat dalam sejarah musik tanah air. Ibarat produk, ia adalah barang kelas 1.

Sebagai ‘produk’ kelas 1, KD menjaga sekali kepuasan pelanggannya, dalam hal ini pengemarnya. Untuk itu ia berusaha sebisa-bisanya untuk menjaga kualitas ‘produk’. KD bukan hanya menjaga kualitas suara, tapi juga penampilan panggung dan citra diri seutuhnya. Baginya, pengemar yang sudah membayar mahal untuk melihatnya di panggung, layak mendapat suguhan terbaik. Penata musik, pinata rias, penata kostum, koreografer, hingga tata panggung dilakukan oleh orang-orang terpilih dan terbaik dikelasnya. Penggemar yang mengaguminya sebagai bintang, juga layak mendapat apresiasi penuh. Citra diri sorang bintang dibangunnya dengan pondasi keyakinan, harapan, dan menejemen yang kuat.

Sebagai seorang ‘bintang’, KD bukan hanya ingin populer tapi juga ingin agar dirinya selalu dikenang penggemarnya, KD menjalankan petikan kalimat Franklin di atas dengan baik. Di jagad tarik suara, ia akan dilupakan jika lagu-lagunya tak lagi memenuhi selera telinga pasar. Tapi KD terus berinovasi. Dan seperti kata Franklin, KD menulis sesuatu yang pantas dibaca orang lain, buku.

Buku itu bertajuk “Catatan Hati Krisdayanti: My Life My Secret” (MLMS), ditulis dan tata ulang oleh Alberthiene Endah, penulis yang sudah akrab dengan dunia artis dan pernah menulis biografi beberapa artis lain seperti Chrisye, Titik Puspa, Anne Avanty, Venna Melinda, dan KD sendiri. Buku ini adalah buku kedua yang mengupas sisi hidup seorang KD, sang diva, sang bintang.

MLMS ditulis dengan semangat berbagi. Menguak rahasia kesalahan di masa lalu, dan membagi pelajaran berharga dari dalamnya. Tentu saja ini bukan hal baru. Banyak orang penting (baca:public figure) yang menguak sisi-sisi gelap dirinya dengan semangat berbagi kisah dan teladan hidup. Namun, sebagai seorang bintang, upaya KD membukukan catatan hidupnya bukan semata karena ingin berbagi. Ini adalah satu dari sekian banyak upaya yang ia lakukan untuk mempertahankan kebintangannya.

Dalam rumus karir KD, eksistensi adalah kunci untuk tetap bertahan dan dikenang sebagai seorang bintang. Ketika pasar musik Indonesia digeruduk musik-musik band dan maskulin, KD harus mempertahankan kebintangannya dengan terus berkarya. Ia tak bisa memaksakan masyarakat untuk selalu menerima musik dan lagunya. Maka ia harus berkarya dalam format lain agar masyarakat terjaga ingatannya akan seorang KD. Dan ia memilih untuk membuat buku (lagi).

Buku adalah monumen perjalanan yang merekam jejak sang bintang. Ketika sang bintang masih menghela nafas, pembacanya dapat menilik kebenaran dari apa yang dikatakan buku dengan memadankannya dengan realitas. Ini tentu berbeda jika buku ditulis ketika sang bintang sudah berkalang tanah. Pembaca hanya bisa membayangkan dan mengira-ngira saja. Itu pula alasan mengapa Omi Intan Naomi menulis proses berkarya Ugo Untoro dalam senirupa justru ketika Ugo masih hidup. Meski tak lama setelah buku itu terbit, Omi rebah untuk selama-lamanya. Namun ia telah meninggalkan sesuatu yang dapat dikenang:buku. Ugo maupun KD adalah bintang, dan mereka patut membangun monumennya dalam sebuah buku.

Buku pertama KD, “1001 KD”, lebih banyak mengungkap sisi positif KD sebagai bintang. Pencapaian-pencapaian dan pernik-pernik hidupnya yang membentuk citra seorang bintang. Maka MLMS mengimbanginya dengan menampilkan sisi KD sebagai manusia biasa yang tak luput dari alpa dan luput.

Dalam beberapa wawancara dengan media massa, KD menyebutkan bahwa ada tiga rahasia penting yang diungkapnya dalam MLMS. Pertama, KD pernah mengonsumsi narkoba pada 1998 hingga 1999. Kedua, KD pernah ditalak oleh Anang, suaminya. Dan ketiga, ia mengungkapkan bahwa ia pernah operasi plastik. Bagi KD, ketiga hal itu adalah rahasia besar dalam kehidupannya. KD memang bertahan untuk menjaga citra yang dibangunnya dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memunculkan sosok KD yang nyaris sempurna :Cantik, tubuh sempurna, populer, materi melimpah, keluarga bahagia,dan banyak kawan.Maka segala hal-hal buruk yang dapat menurunkan citranya wajib segera ditutup dan diupayakan tidak tersiar ke publik. Maka MLMS menjadi semacam sensasi untuk kembali mengetuk ingatan orang akan seorang KD.

Bagi saya, tidak ada yang terlalu mengejutkan dari ketiga rahasianya. Narkoba adalah barang yang sudah akrab dengan dunia selebriti. Media massa sudah banyak merekam kronik artis yang pernah menjajalnya. Sebut saja Roy Marten, Ari Laso, Doyok, Slank, Sheila Marcia, dan lain-lain. Mereka itu yang kebetulan tertangkap, yang masih menikmati surga semu itu juga tak sedikit. Padatnya kegiatan keartisan yang membutuhkan stamina prima, psikologi yang tertekan karena terus menjadi sorotan, hingga lingkungan pergaulan yang akrab dengan dunia malam adalah beberapa alasan yang acap kali terlontar. Narkoba menjadi identik dengan dunia keartisan secara tidak langsung karena media banyak memberitakan artis yang menggunakan barang memabukkan itu. Maka ungkapan KD pernah menghisap shabu-shabu tidaklah terlalu mengejutkan.

Pengakuan bahwa Anang pernah melontarkan talak pada KD gara-gara KD bersikap kasar pada ibu mertuanya juga tak terlampau mengejutkan sebenarnya. Sekali lagi, ini karena media telah banyak memberitakan peristiwa kawin-cerai dikalangan artis. Hingga hal itu menjadi hal yang dianggap biasa bagi kalangan artis dimata penikmat media.

Demikian juga dengan operasi plastik. Sudah bukan gossip atau hisapan jempol jika artis banyak melakukan operasi plastik untuk merubah atau mempertahankan penampilannya agar tetap prima. Lagi pula, operasi plastik banyak dilakukan untuk membantu mengembalikan kondisi tubuh wanita paska melahirkan yang kendur. Ketika KD melakukannya, sudah tidak aneh. Selain banyak orang melakukannya, beberapa media memang pernah mempertanyakan postur tubuhnya dan melontar tuduhan operasi plastic. Maka pengakua KD kemudian hanya menjadi satu pembenaran saja atas tuduhan itu.

Selebihnya, MLMS layak mendapat apresiasi mengingat tak banyak seniman kita yang memiliki kesadaran untuk membukukan perjalanan hidup dan karirnya sehingga generasi mendatang dapat belajar dari bukunya. Pencatatan ini penting, karena secara tidak langsung sejarah ditorehkan dari sini. Buku menjadi semacam monumen sejarah. Tempat dimana setiap pencapaian dan peristiwa dikenang. Kita akan mengenal sejarah dengan baik jika kita dapat mengenali sejarah diri kita sendiri, begitu kata Pramoedya. Maka tulislah sejarah hidupmu sebaik-baiknya, serapi-rapinya. (Diana AV Sasa)

Sabtu, 18 April 2009

Wendo Bilang Mengarang Itu Gampang, Kataku TIDAK!

Diana AV Sasa

Mengarang Itu Gampang
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : PT Gramedia (1981-2001)

“Jangan hanya membaca. Kalau saat itu sudah mencoba mengarang, pasti lain halnya. Untuk yang terakhir ini saya percaya penuh. Cobalah mengarang sekarang juga, jangan menunggu dua puluh tahun lagi. Jangan menunggu dua hari lagi. Sekarang juga. Tutup buku ini, mulai.” Begitu tulis Arswendo dalam pengantar edisi kedua buku Mengarang Itu Gampang yang sudah lebih dari 5 kali cetak ulang selama sepuluh tahun sejak 1981 hingga 2001. Paragraf terakhir Arswendo itu mendorong saya untuk terus memamah isi bukunya.

Sebagai penulis pemula, kata-katanya cukup melecut untuk penasaran mengetahui trik dan resep apa yang dipunya seorang maestro agar menulis (baca: mengarang) bisa lebih mudah dan ciamik. Maka saya pun menekuni setiap bab pada buku itu dengan gairah yang menyala.

Buku itu tak terlalu tebal. Hanya 118 halaman. Cukup ringan untuk sebuah buku panduan. Ditulis dengan teknik tanya jawab. Gaya bahasanya juga ringan dan bertutur meski materi bahasannya berat. Wendo tampaknya cukup mahir menjadikan yang berat jadi enteng, yang berkabut menjadi jernih dan terang.

Tapi ada “tapinya”. Saya jadi jenuh saat memasuki lembaran tengah. Semangat dan gairah yang sejak awal saya sulut mendadak meredup dan menghentikan alur baca saya hingga hanya membaca sekilas lalu.

Pada awal bab, Wendo mengajak pembaca untuk melihat alasan mengapa menurutnya mengarang itu gampang. Ada 4 pondasi yang diletakkannya untuk mengatakan menulis itu gampang. Pertama, harus bisa membaca dan menulis. Syarat ini tentu banyak yang bisa memenuhi, tak terlampau sulit.

Kemudian pondasi berikutnya adalah minat dan ambisi yang terus-menerus. Membaca dan menulis yang baik perlu latihan, perlu disiplin, perlu minat yang tak kunjung habis. Minat dan ambisi seperti juga rasa cinta, selalu ada, terus mengalir. Ini didasarkan pada kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang dicintai, dan kita percaya, ada Sesutu yang baik yang akan kita lakukan dengan itu.

Wendo benar tentang ini. Rasa cinta memang membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan ringan dijalani. Jika sudah ada rasa cinta, maka langkah akan mengalir dengan sendirinya. Semangat ini menjadikan menulis terkesan mudah.

Pondasi sudah diletakkan. Wendo kemudian menuntun memahami bagaimana meramu sebuah ilham sehingga menjadi ide. Diperlukan dua hal yang bisa menjadi kompas: Untuk apa kamu menulis? Apa sebenarnya kemauanmu menulis? Di sinilah peran pandangan penulis terhadap sebuah ilham sangat menentukan. Pada bagian ini penulis bisa memilih ingin menggabung realitas dan imajinasi dengan porsi dan cara bagaimana. Sebagian atau keseluruhan, terserah penulisnya.

Ide yang sudah ada itu hanya akan menjadi sebatas ide jika tak dituliskan. Maka segera saja mulai menulis. Jika belum siap, bisa diawali dengan membuat coretan tentang ide dasar yang ingin dikembangkan. Untuk itu diperlukan pengetahuan tambahan. Maka penulis harus mencari informasi pendukung idenya itu sehingga bahan yang akan diolah makin banyak.

Saya sepakat dengan Wendo. Di era internet ini, mencari bahan pendukung penulisan sudah bukan hal sulit. Cukup tanyakan Paman Google, dan segudang bahan akan tersedia. Hanya tinggal diperlukan kemahiran menguatak-atik bahan dan menyelipkan gagasan kita dalam rangkaian tulisan.

Tugas seorang pengarang sebenarnya adalah menggabung-gabungkan hal yang sepertinya tak ada hubungannya menjadi saling terkait. Ini adalah seni menulis kreatif yang merupakan sikap dasar penulis. Kreatif menggabung-gabungkan, seperti menjahit kain perca hingga menjadi lembaran warna-warni yang cantik dan unik berirama.

Sampai tahap ini saya masih cukup mengikuti alur buku ini. Memasuki bahasan berikutnya, saya mulai jenuh. Ini seperti mendapat pelajaran mengarang di sekolah. Beberapa macam jenis plot dipaparkan. Plot dengan ledakan, plot lembut, plot lembut meledak, plot terbuka, plot tertutup, sampai bagaimana mengembangkan plot.

Plot yang sudah didapat, tulis Wendo, harus dikembangkan dengan mencari sebab agar mendapat kesimpulan akibat. Kemudian bagaimana plot ini dikunci dengan penutup dan akhir yang tepat. Selanjutnya diulas bagaimana menghadirkan tokoh, memilih tempat/lokasi cerita dan penggambarannya. Diakhir baru dibahas mengenai tema.

Ini agak janggal, karena tema biasanya justru dibahas diawal sebagai sebuah bagian besar dari rentetan teori sebelumnya. Ini barangkali seperti teori paramida terbalik. Yang besar ada di belakang.

Teori yang coba disederhanakan dengan cara dialog ini memang menjadi terkesan ringan, namun tetap saja membuat kepala penuh teori yang mengesankan mengarang jadi berat dan susah karena banyak aturannya. Bagi penulis pemula, hal ini membuat awal menulis jadi terasa berat sekali. Aturan hanya membuat ide penulisan cupet. Belum-belum sudah dihadang aturan yang menggertak bahwa tulisan yang tidak patuh aturan adalah tulisan buruk.

Tips dan trik yang saya harapkan tidak terlampau terpenuhi sampai halaman ke 65 buku ini. Saya hanya seperti mendapat pengulangan dari pelajaran mengarang saya di sekolah. Pada sisa bab yang ada, penulis memberikan bonus pengetikan dan ejaan yang baik. Ini menjadikan beban untuk memulai tambah berat dipundaki.

Baru mau mengawali sudah tambah beban ejaan yang rumit diingat. Mau mulai mengetik saja sudah khawatir ejaan dan bahannya tidak tepat. Materi tambahan ini jika tidak suka bisa dilewatkan saja, karena meski menulis dengan ejaan yang benar itu lebih baik dan penting, namun tugas itu bisa menjadi lebih ringan ketika dibagi dengan editor yang lebih menguasai ilmunya. Tugas penulis adalah menulis.

Bonus lain di bab akhir adalah bagaimana mengirim karangan ke media. Bagaimana antisipasi jika karangan ditolak. Hingga sistem pembayaran honor. Pentingnya membaca karya satra, dan juga beberapa pekerjaan alternatif yang bisa dijadikan sandaran hidup seorang penulis. Walau saya kurang yakin, Wendo tetap keukeuh menyakinkan untuk percaya bahwa mengarang itu gampang. Tinggal menjajal dan membuktikannya. Percaya bahwa mengarang itu pekerjaan terhormat, tidak kalah dan tidak lebih daripada profesi-profsi lain.

Buku ini adalah buku yang cukup legendaris pada era 80an. Ketika itu menulis masih belum dianggap pekerjaan menjanjikan. Sehingga kehadiran buku ini cukup membantu sebagai panduan bagi mereka yang ingin mulai menekuni dunia tulis menulis. Nama besar seorang Arswendo mempengaruhi larisnya buku ini di pasaran. Saya pribadi sebagai penulis pemula, melihat buku ini lebih sebagai panduan menulis dengan baik, bukan sebuah buku yang memberikan tips dan trik menulis sehingga menjadi mudah.

Alasan kecintaan pada profesi memang bisa membantu beban menjadi ringan, namun untuk menjadikannya mudah butuh panduan dan penjelasan yang mudah dimengerti pula. Buku ini tidak cukup mengakomodir itu. Gaya penulisannya memang ringan, namun topik bahasannya berat. Contoh-contoh buku yang dihadirkan pun cenderung jarang dikenal. Sebut saja The Social Construction of Reality-nya peter l berger dan Thomas Luckman, Little House on the Priere-nya Laura Ingall Wilder, Untung Suropati-nya Abdul Muis, dan sebagainya. Bagi yang tidak pernah membaca buku ini akan sulit sekali menangkap penggambaran yang dimaksudkan penulis.

Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, buku ini layak menjadi referensi bacaan dan panduan bagi mereka yang telah rajin menulis, telah menemukan menulis sebagai sebuah aktivitas yang penuh disiplin dan ingin mengembangkan kemampuannya sehingga tulisannya lebih bernas. Pada akhirnya mengarang tidak menjadi lebih gampang setelah membaca buku bertabur teori ini.

Sabtu, 21 Maret 2009

Aku Bisa Menulis!: Buku Meditasi untuk Para Penulis

Diana AV Sasa

Aku Bisa Menulis!: Buku Meditasi untuk Para Penulis
(Walking on Alligators: A Book of Meditation for Writer
Penulis : Susan Shaughnessy
Penerbit :Mizan Learning Centre(2004)


Hanya Soal Rutinitas
“Hanya dengan menulis setiap pagilah seseorang bisa menjadi penulis. Mereka yang tidak melakukan itu akan tetap menjadi amatir” (Gerald Brenan)
Kalimat diatas dikutip Susan Shaughnessy di awal-awal Walking on Alligator, atau Aku Bisa Menulis!. Selanjutnya dia mengingatkan bahwa pada dasarnya seorang penulis adalah orang yang menulis. Mereka menulis dalam kondisi apapun. Tertekan, gembira, jatuh cinta, bersedih, kedokter gigi, atau ketika tidak sedang melakukan itu semua. Mereka tetap menulis dalam kondisi pemerintahannya digulingkan atau sedang dibangun kembali. Mereka menulis karena mereka menulis.
Susan menambahkan, pemikiran yang ada di hari ini,ide yang siap mengalir hari ini, tidak akan bisa dituangkan esok hari. Waktu yang diluangkan untuk menulis tidak pernah sia-sia. Seandainya Anda hanya bisa meluangkan waktu selama dua puluh menit, dan hanya bisa menuliskan satu atau dua kalimat saja, Anda tetap melakukan sesuatu yang penting. Anda telah menuliskannya.
Kemudian Susan mengakhiri dengan kalimat menggugah : Aku akan menulis hari ini. Inilah kesempatanku untuk melakukan apa yang aku katakan ingin aku lakukan.
Susan menuturkan semua itu ketika membahas tentang cinta. Tak ada salahnya cinta menulis. Tapi cinta saja tidak cukup untuk menjadi seorang penulis. Kecintaan itu harus diwujudkan dalam keseharian hingga terbukti. Seorang yang cinta menulis harus menulis setiap hari,demikian tulis Susan.
Menulis memang harus menjadi sebuah ritual. Dilakukan diwaktu yang sama dan terus menerus. Sekali berhenti maka ia akan berhenti lagi, lagi, dan lagi. Tak ada hari libur yang tak menyenangkan. Dan sekali libur menulis berarti membuang satu kesempatan berharga untuk mencurahkan ide dalam tulisan. Ide itu akan selalu ada dalam kondisi apapun. Depresi sekalipun.
Bagi Susan, depresi bukan halangan untuk menulis. Memang menulis tak mampu mengusir depresi,tetapi depresi tak perlu melumpuhkan menulis. Ciamik sekali cara Susan membalikan cara berpikir negatif menjadi positif ini. Kebanyakan penulis akan berkata ia sedang tak dapat menulis karena tengah mengalami depresi akibat masalah lain. Susan membalikkan logikanya. Kalimat menggugah yang ditulisnya : Hari ini aku kembali meneguhkan janji untuk menulis secara teratur, tanpa tergantung suasana hatiku. Aku tahu aku bisa menulis dengan baik dalam kondisi apapun.

Menulis dalam segala kondisi. Memang butuh keyakinan dan keteguhan niat untuk itu. Alih-alih menuis dalam kondisi apapun, banyak orang yang ingin menulis tapi berdalih peralatannya tak menunjang,komputernya lambat-atau tak punya-, penanya jelek, kertasnya habis, ruangannya tak nyaman, situasinya kurang pas, masih banyak masalah, atau moodnya belum dapat. Hambatan-hambatan dalam diri itu sebenarnya bisa diatasi dengan sedikit perubahan cara berpikir.
Bukan komputer, pena, kertas, situasi, ruangan, atau moodnya yang mesti dirubah, melainkan kemauan untuk mau menulis dan melakukannya dengan rutin dalam media apapun. Komputer hanya alat bantu, jika tak ada komputer masih banyak alat tulis lainnya. Sade, pengarang dari Perancis itu sampai menggunakan darah dan kotorannya untuk menulis. Hanya karena semua alat tulisnya dirampas. Jika sade saja bisa, maka siapapun yang ingin menjadi penulis pasti juga bisa mengatasi hambatan kecil semacam itu. Tak perlu menunggu hidup yang layak dan tenang untuk mulai menulis.
Sade memang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Menjadi penulis sudah menjadi tujuan dan garis hidupnya. Dengan memiliki tujuan maka penulis akan tahu kemana ia akan menuju dan untuk apa ia kesana. Tujuan itu juga bisa dijadikan pelecut semangat kembali jika ditengah perjalanan menggapai tujuan ditemukan hambatan. Ini adalah upaya menjadikan menulis sebagai sebuah tujuan dan cita-cita untuk diraih. Sebagai sebuah ritual, menulis memang harus menjadi aktivitas yang berdedikasi.
Simak apa yang dikutip Susan dari Janet Frame berikut ini, satu-satunya hal yang pasti tentang menulis dan upaya untuk menjadi penulis adalah bahwa menulis itu harus dilakukan, bukan diimpikan atau direncanakan tanpa pernah ditulis, atau dibicarakan, tetapi hanya dengan menulis; inilah fakta menyebalkan dan menyakitkan bahwasanya menulis tidak berbeda dengan pekerjaan lainnya.
Susan adalah seseorang yang telah memilih menulis sebagai pilihan pekerjaannya. Dengan begitu ia bisa merumuskan tujuan, langkah-langkah dan strategi untuk mewujudkan pencapaian di setiap tahapnya. Seperti halnya pekerjaan lainnya, Susan juga mengalami kendala dalam menulis. Dan seperti bagaimana orang lain menyelesaikan hambatan dalam pekerjaannya, Susan juga memilih teori dan penyelesaian yang tak jauh berbeda.
Susan sadar betul, sebagai sebuah pekerjaan, menulis juga membutuhkan cara bertahan dari terpaan krisis. Naskah yang selalu ditolak, dokumen naskah hilang, keuangan yang carut marut, adalah hal lumrah seorang penulis di awal karirnya. Pada titik ini seorang penulis tak boleh menyerah. Keadaan justru sering kali terbalik pada titik ini. Yang perlu dilakukan adalah tetap bekerja teratur setiap hari, meskipun dengan waktu yang sangat terbatas, dan setia pada tujuan awal. Cita-cita untuk menjadi penulis dan terus menulis. Karena menulis sudah menjadi pilihan pekerjaan.
Dan pekerjaan menulis itu harus dimulai. Segera setelah niat dan cita-cita itu terpatri di hati. Sekarang, hari ini. Duduk dimeja dan mulai menulis. Tentang apapun. Tak perlu berpikir. Tulis saja semuanya apa adanya. Jangan lagi ada penundaan. Apa yang ada hari ini akan berbeda dengan esok hari. Setiap hari meiliki kisah dan mimpi yang berbeda.
Lompatan-lompatan pemikiran itu disusun dengan apik dan sederhana dalam buku meditasi untuk penulis yang ditulis Susan berdasarkan pengalamannya selama bekerja sebagai penulis. Susan membagi setiap halaman untuk sebuah bahasan yang bisa dibaca secara acak. Di tiap halaman ia mengutip kalimat-kalimat menggugah dari penulis lain yang telah lebih dulu mengalami masa-masa sulit kepenulisan. Kemudian ia membuat perenungannya. Lalu membangun sebuah kalimat untuk membangkitkan semangatnya sendiri. Sebuah motivasi dari dalam diri.
Topik motivasi yang dikembangkan Susan hampir mirip dan berulang. Ini memang sesuai dengan pengalaman kebanyakan penulis. Hambatan yang sama seringkali terulang lagi di masa yang berbeda. Dalam kondisi yang berbeda ini maka penyelesaiannya bisa sama bisa juga berbeda. Susan berusaha menghimpun yang terserak itu hingga siapa saja yang ingin menjadi penulis bisa membaca buku itu. Kapan saja,mulai dari mana saja tak masalah. Tanpa harus membaca keseluruhan isinya, Susan menghadirkan bacaan yang memang digunakan untuk penenangan penulis yang resah. Untuk itu ia harus ringan dan tak menambah beban.
Pemberian kesan ringan dan mendorong ini juga terlihat dalam pemilihan ukuran kertas. Bentuk kertas memanjang untuk jumlah baris yang tak terlalu penuh memberikan ruang kosong yang cukup bagi pembacanya untuk menuliskan sesuatu setelah membaca. Jenis dan ukuran huruf, jarak antar baris, dan garis tepi yang digunakan juga cukup memudahkan pembaca untuk membaca cepat. Penulis pemula atau kawakan sekalipun, perlu membaca tulisan Susan ini. Caranya melahirkan ilham dan semangat baru bisa menjadi meditasi yang menenangkan bagi penulis yang tengah berproses.

Rabu, 04 Februari 2009

Mala

Judul : MALA : Tetralogi Dangdut 2
Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : april 2008
Editor : Kenedi Nurhan
Tebal : viii+336
Dimensi : 14×21cm
ISBN : 978-979-709-360-0
Harga : Rp.54.000

MALA akhirnya bersedia mengakui bahwa dia adalah pelaku mutilasi pada korban yang diakui sebagai Midori, bintang film panas sekaligus sahabatnya itu. Sahabat yang telah menyeretnya pada sebuah konspirasi politik yang tidak dikehendakinya.
Pengakuan itu dilakukan MALA dengan jaminan bahwa NORA,istri yang kekasihnya tidak akan dibunuh. Cintanya pada NORA yang lugu dan sederhana itu ternyata mampu membuatnya bersedia mengorbankan hal-hal terpenting dalam hidupnya.

Selama MALA berada dalam penjara, kantor media tempatnya bekerja telah mengalami perubahan besar. Gedungnya sudah tak lagi tua dan kumuh. Berubah menjadi gedung menjulang tinggi. Adam, yang mengaku sebagai sahabatnya, yang juga sekaligus menyeretnya masuk penjara, menjadi salah satu jajaran pimpinan bersama Budi, wartawan yang dulu menulis tentang Midori dan menyudutkannya. Saras, wartawan yang dulu sering bertengkar dengan Budi, atas nama cinta akhirnya menyerah pada pelukan Budi dan menjadi istrinya, mereka dianugrahi dua orang anak. Saras,Budi, yang dulu begitu idealis itu telah berubah menjadi manusia yang silau pada kemewahan dan kemapanan. Adam menguasai mereka dengan materi hingga mereka kehilangan nalar kritisnya. Semua menjadi nisbi.
“Dan kita mau saja dikuasai karena kita tergantung…hidup enak ini telah membuat kita menjadi lemah dan lembek”(4 8)
Kantor kecil itu ternyata penuh konspirasi besar, sarat akan kekuasaan. Adam begitu licin dan licik memainkan peran. Skenario disusun dan dimainkannya dengan indah, halus dan lembut. MALA sengaja disingkirkan karena dianggap menggalang gerakan makar di kantor dengan mempekerjakan orang-orang yang ‘tidak bersih lingkungan’.
“Waktu itu kita dihadapkan kepada dua pilihan. Membela satu orang yang tidak bersalah, tapi menghancurkan hidup ratusan orang yang bergantung pada perusahaan. Atau manunda,sambil mencari waktu yang tepat untuk mengembalikan kebenaran pada kebenaran dan keadilan pada keadilan. Sebab kalau waktunya tidak tepat, kebenaran dan keailan hanya akan menjadi teori indah yang tak berguna. “ (45)
Pimpinannya bertekuk lutut pada seseorang yang ditelepon selalu berkata “dari pada demikien…. Bla bla bla Diusahaken bla bla bla…” Adam menurut karena punya ambisi ingin jadi presiden. Untuk itu dia harus dicalonkan partai. Partai mau menerima asal Adam menguntungkan partai. Untuk mewujudkan itu, medianya harus ‘bersih’.

Sementara MALA semakin dilupakan setelah bertahun-tahun kasusnya berlalu. Media tak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang ‘penting’. Tak ada lagi yang terlalu peduli tentang kebenaran bahwa MALA benar membunuh atau tidak. Tak ada lagi yang ingin tahu siapa sebenarnya pembunuh Midori, atau benarkah itu mayat Midori. Berita tentang kebebasannya pun hanya mengisi kolom kecil disudut Koran, kalah dengan head line berita KAKEK MEMPERKOSA CUCUNYA KETIKA LAGI SHALAT. Kebenaran bisa menjadi begitu salah dan begitu benar ditangan pers. Pers mempunya kuasa yang begitu besar untuk menentukan sebuah kebenaran. Pers mempunyai control utama pada apa yang akan diperhatikan orang dan apa yang akan diabaikan. Dan Adam memainkannya dengan mulus. “Apakah artinya kebenaran kalau bertahun tahun menghilang. Apakah ini akan kembali benar dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda. …” (31) “Sebuah berita kecil lewat dan tidak ada orang yang peduli. Padahal dalam berita itu ada lorong untuk membaca kebenaran. “(39)

MALA tak lagi mempedulikan apakah dia masih penting atau tidak bagi teman-teman dan orang lain. Yang penting baginya setelah bebas adalah menemukan kembali NORA dan mencintainya, memberinya belaian, kecupan, percintaan yang selama ini hanya ada dalam hayalnya. Dia akhirnya sadar bahwa NORA adalah sebagian dari hatinya.
“ Hanya kamulah yang masih kumiliki sekarang, karena semua orang tak ada di tempatnya ketika aku memerlukan . Hanya kamulah yang masih terus menjadi titik yang tak bergerak, tempatku memandang. Hanya kamulah rumahku, tempat aku rindu dan kembali, meskipun kamu mungkin tak setuju. Aku mencintaimu,NORA,”
Sayang NORA tak pernah tau isi surat itu, dia hanya bisa membaca namanya disurat itu, dan itu saja cukup untuk membuatnya berbunga-bunga. Hal sepele yang tak perlu repot untuk membuatnya bahagia. Menemukan namanya ditulis MALA dalam suratnya, tak peduli apa isinya. NORA pun mencintai MALA,menunggunya bebas, menanti percintaan dengannya, dan terus menunggu MALA bergerak mendekatinya. Tapi yang didapatinya adalah MALA pergi dengan meninggalkan sebuah buku catatan. Buku yang berisi tumpahan kecintaan, kerinduan, dan kekecewaannya pada NORA.

MALA merasa hidupnya tercabik dan terlempar begitu jauh. Dia merasa pengorbanannya sia-sia. Dia pertaruhkan hidupnya, karirnya, masa depannya untuk mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, hanya demi kecintaannya pada NORA. Tapi yang didapatinya adalah pengkhianatan(menurut anggapan MALA). NORA menikah dan bercinta dengan orang lain, sementara dia menahan seluruh hasratnya dan berharap NORA hanya akan menjadi miliknya satu-satunya seutuhnya.

NORA tak mengerti mengapa MALA pergi, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya bergerak sebagaimana tubuhnya mengalir. Dia bicara dengan bahasanya, bukan bahasa MALA. Dia masih menunggu dengan setia, membeiarkan dirinya tetap perawan, dan berharap MALA akan kembali. Tapi MALA tak pernah kembali. Selamanya.