Minggu, 11 Oktober 2009

"Menjual" Indonesia Dari Dalam Taksi

JUDUL : Indonesia For Sale
PENULIS : Dandhy Dwi Laksono
EDITOR : Hadi Rahman
PENERBIT : Pedati
TEBAL BUKU : XV + 311
TAHUN TERBIT : Oktober, 2009
DIMENSI :
ISBN : 979-9682-09-6
HARGA : Rp. 52.000,-

Perjalanan Dandhy Dwi Laksono suatu siang di tahun 2009, seperti kunci untuk membuka kotak pandora. Mengetahui apa dan bagaimana melihat semua hal di Indonesia dengan kacamata yang sangat sederhana. Hingga sampai pada kesimpulan: Waktunya kita menjual Indonesia. Yup. Indonesia for Sale!

Bagi banyak orang, berbicara dengan sopir taksi dalam sebuah perjalanan, adalah hal biasa. Tapi tidak bagi Dandhy Dwi Laksono. Mantan jurnalis televisi ini justru menemukan banyak hal, saat berbicara dengan sopir taksi yang membawanya. Apalagi, perbincangan di sela kemacetan itu secara tidak sengaja mengurai berbagai persoalan di Indonesia. “Bang, macam mana, kok bisa harga bensin turun lagi? Tumben sekali pemerintah. Apa karena bensin tidak laku?...” Begitu Dandhy mengawali paragraf bagian pertamanya.

Perbincangan soal bahan bakar minyak (BBM) mengawali semua hal di buku ini. Masuk akal. Karena di Indonesia atau bahkan di dunia, BBM seperti buah saklar yang bisa digunakan untuk “menghidupkan” dan “mematikan” berbagai hal. Bila saklar itu dipencet, banyak hal yang akan terjadi. Yang paling gampang untuk diraba adalah, kenaikan itu merupakan komoditi. Komoditi? Bagaimana menjelaskan kenaikan BBM merupakan komoditi kepada sopir taksi? Di sinilah letak kepiawaian penulis kelahiran Lumajang, 29 Juni 1976 ini. Sekaligus merupakan keunggulan buku ini.

Dandhy memulainya dengan membuka tabir kerumitan perekonomian dunia dengan menjelaskan betapa minyak mentah (crude) diperdagangkan dengan international market place atau harga pasar internasional. Nah, di dalamnya ada spekulasi dan politik energi. Nah, karena itu juga, bukan tidak mungkin harga BBM akan naik turun mengikuti harga minyak dunia. Melalui topik yang sama, mantan koordinator liputan RCTI ini meraba pejelasan sederhana spekulan yang biasa bermain di future trading. Jangan pernah membayangkan penjelasan itu njilet (baca: rumit). Karena memang tidak seperti itu.

Pemakaian tokoh fiktif Mr. Smith di buku ini, memudahkan semua penjelasan itu. Hingga sampai pada kesimpulan, mengapa Indonesia, yang notabene negara penghasil minyak, justru didekte oleh pihak lain yang justru sama sekali tidak memiliki sumur minyak. Logika yang berbalik ini bagai menghempaskan nasib bangsa ini. Hal yang sama juga terjadi pada produk pangan. "Situasi seperti ini adalah gambaran (terlalu) sederhana dari jebakan struktural yang menciptakan kemiskinan tidak berkesudahan." tulis Dandhy.

Buku yang diawali dari sebuah diskusi antara Dandhy dan sang editor Hadi Rahman ini memang memiliki keunggulan “enak dibaca”. Tidak hanya oleh orang-orang yang memiliki hasrat yang sama untuk menyelamatkan Indonesia yang mulai “terjual”, tapi juga oleh orang-orang yang ingin memahami persoal pelik ekonomi politik dengan bahasa yang sederhana. Namun, kesederhanaan itu tidak kemudian menjadikan persoalan semakin tidak jelas. Bahkan, bisa-bisa kita hanya bisa geleng-gelang kepala sambil bergumam,”Ternyata, Indonesia memang dalam bahaya.”

Simak saja bagaimana Dandhy berbicara soal Neo Liberal atau akrab disebut Neolib. Kata ini sempat begitu terkenal saat Pemilihan Presiden RI 2009. Terutama saat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menggandeng Boediono sebagai calon wakil presiden RI. Nah, Dandhy secara lugas menjelaskan Neolib itu “Pokoknya lebih jekam dari PKI (Partai Komunis Indonesia).” Kok? Yang maksudnya, dengan ideologi Neolib, orang mati akan kesusahan untuk dikubur. Karena tanah kuburan perlu untuk dibayar. Hal itu terjadi lantasan dalam kacamata Neolib, semua hal itu ada harganya. Bahkan di Cikarang, Jawa Barat, ada tanah kuburan yang seharga milyaran rupiah. Komersialisasi semacam ini, menurut Indonesia For Sale menyandera kepentingan rakyat kecil.

Salah satu contoh yang dikutip Dandhy dalam buku ini adalah pengkaplingan pantai oleh instansi wisata dan perhotelan tertentu. Bagaimana bisa, pantai yang notabene adalah ciptaan Tuhan itu harus dikapling-kapling seperti yang terjadi di Anyer dan Ancol. Hal ini jelas tidak benar. Harus ada regulasi yang mengatur untuk boleh mengkomersilkan ciptaan manusia, tapi tidak untuk kekayaan alam yang ciptaan Tuhan. Dalam persoalan air misalnya. Siapapun bisa menjual air dalam kemasan, tapi tidak boleh mengkapling mata airnya. Begitu juga soal frekuensi yang tidak boleh dikangkangi oleh siapa pun.

Sayang, dalam sosok Boediono yang kini Wakil Presiden 2009 versi KPU, yang juga merupakan sosok yang sering ditunjuk hidung soal Neolib, Dandhy tidak secara tegas menunjukkan sikapnya. Lulusan Universitas Padjajaran Bandung jurusan Hubungan Internasional justru berputar-putar dengan komentar orang-orang lain tentang Boediono. Dalam bab selanjutnya, Dandhy asyik melembahkan sauh ke belakang. Mencari akar kebijakan Neolib dengan mempelajari liberalisasi ekonomi yang ditulis Adam Smith pada 1776.

Dengan kepiawaian yang dimiliki, Dandhy kembali cerdas mengulas bagaimana Adam Smith menjadi begitu diminati orang-orang digenerasinya. Bahkan sampai saat ini. Termasuk mengulas hubungan institusi agama yang menjadi pemicu berjutanya Adam Smith-isme. “Jadi kalau aku mengatakan bumi bulat dan tidak datar lalu aku dicambuk oleh agamawan karena dianggap kafir, aku pasti menjadi pendukung Adam Smith,” tulisnya. Namun, ketika atmosfir penulisan sudah menjadi begitu mengerucut, Dandhy menghempaskan dengan kenyataan bahwa sistem ekonomi modal ini kemudian bisa invalid, dengan munculnya modal-modal baru. Nah lu!

Keberanian Dandhy mengutip ajaran-ajaran Muhammad, memberikan warna tersendiri. Seperti menampar wajah kapitalis (baca: Neolib) yang seringkali dianggap “biasa”. Perdagangan modal sebagai akses perkembangan kapitalis sudah ditentang Nabi Muhammad ratusan tahun sebelum ajaran Adam Smith dituliskan. “Rasullah melaknat orang yang memakan riba,” kutip Dandhy dibukunya. Tidak hanya itu, ketika permainan harga bahan-bahan dimainkan oleh pasar international, Dandhy juga menemukan antipatinya dalam ajaran Muhammad.

Karena berbagai kenyataan itulah, dalam Indonesia For Sale, pemimpin situs Aceh di masa DOM, Acehkita.com ini merasa heran dengan kelakuan aktivis Islam yang lebih suka merasia buku-buku sosialisme dan komunisme dibanding text book kapitalisme. “Aku pun heran bila ada ulama yang ikut-ikutan tentara membenci komunis tapi gagap menghadapi kapitalisme atau liberalisme,” tulis Dandhy. Padahal Karl Marx, embahnya sosialis mengatakan agama sebagai candu hanya dikaitkan dalam etos kerja dan tak ada kaitannya dengan teologi.

Sisi lain yang membuat buku ini menjadi berbeda adalah keberanian Dandhy untuk memberikan warna kekinian dari sejarah masa lalu. Seperti saat Dandhy mendiskripsikan sejarah William Wallace yang pernah difilmkan dalam Brave Heart dengan Mel Gibson. Dandhy juga tidak ragu mengutip sebuah film berjudul 300 yang menokohkan kaum Spartan. “Spartannnnn,..hah huh hah huh,” tulisnya. Meski demikian hal itu tidak menjadi sisi nasionalisme dan kesejahteraan yang merupakan dua picing mata yang saling berhubungan menjadi tidak terjelaskan.
Dalam konteks Indonesia, keduanya lebih banyak berbenturan. Terutama ketika dalam era enam presiden, keseimbangan antara nasionalisme dan kesejahteraan mengalami pasang surut.

Indonesia for Sale ingin kembali mengingatkan khalayak, bahwa sejarah telah mencatat kesejahteraan versi Orde Baru adalah sebuah hal yang semu. Kesejahteraan menjadi semacam opium yang membius kesadaran. Saat tertidur kekenyangan, ladang kita telah tergadaikan. Saat kita terlelap mesra, tanah air yang dulu direbut kakek nenek kita dengan darah, tiba-tiba ditumbuhi taman belukar berwujud dolar. Dengan plakat besar di depannya: Indonesia for Sale.