Rabu, 17 Desember 2008

Suara Senyap Lembar Kebudayaan

Judul: Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merakesumba, Jogjakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: 528 halaman (termasuk indeks)
Pledoi Sejarah Kebudayan Indonesia

"Sejarah senyap adalah sebuah metode dan usaha menggali kuburan ingatan kolektif dari persemayaman yang dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi"

Emboss palu-arit tercetak samar di kertas putih bersih itu menghadirkan kembali rasa getir trauma masa lalu. Judul dengan warna merah menyala di samping logo penerbit bak darah mengalir, mengingatkan pada betapa banyak darah tertumpah yang menjadi tumbal gambar itu.
Desain sampul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan ini dibuat jelas bukan tanpa alasan. Selain peraturan pelarangan gambar itu masih belum dicabut, sehingga perlu disamarkan jika tak ingin kena ‘tilang’ pihak berwenang, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dalam sejarah memang selalu berada dalam bayang-bayang partai berlambang dua benda tajam senjata kaum tani itu, PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika Lekra maka PKI, karena PKI maka (pasti) jahat, kejam, sadis, pembuat onar, dan layak digorok. Sebuah penyamarataan yang keblinger berpuluh tahun lamanya.

Semangat Penulisan

Rhoma dan Muhidin adalah dua orang muda yang usianya belum juga genap 30, tapi kepeduliannya pada dokumentasi sejarah bangsa begitu besar. Rhoma adalah periset muda yang telah melahirkan pelbagai karya sejarah seperti Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Seabad Pers Perempuan (1908-2008), Almanak Partai Politik Indonesia, dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008). Muhidin adalah penulis muda yang namanya wira-wiri di media nasional dan telah melahirkan berpuluh buku sastra maupun esai.

Dialah pemimpin riset Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia yg ditulis 25 penulis muda yang usianya masih di bawah 25 tahun. Mereka berdua ini selama 17 bulan dengan getih menyusuri kembali lembar demi lembar Harian Rakjat dalam lembab almari perpustakaan sunyi di pusat kota Jogjakarta dengan satu semangat: selamatkan aset sejarah sebelum kalah dengan rayap!

Sebanyak 15 ribu artikel budaya Harian Rakjat dalam ejaan lawas dan tulisan kecil-kecil mereka baca dengan tekun, mereka catat bagian-bagian pentingnya (karena tidak boleh menggunting apa lagi menfotokopi karena merusak kertas yang sudah rapuh itu), untuk kemudian menuliskannya kembali dengan beberapa tambahan intepretasi. Mereka menyuguhkan dengan apa adanya peristiwa-peristiwa kebudayaan yang terjadi sepanjang rentang waktu revolusi 1950-1965. Fakta demi fakta diuraikan. Dan hasilnya: Lekra tak hanya mengurusi soal sastra yang selalu diperdebatkan dengan Manikebu, tapi Lekra juga mengurusi film, musik, seni tari, seni pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), buku, pers, dan kebudayaan secara umum.

Jawaban Untuk Prahara Budaya

Buku ini, meski disebut sebagai “buku putih”, tapi bukanlah sebuah pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.
Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.

TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.

Jika Prahara Budaya bersampul “merah” itu disusun oleh dua budayawan lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat prinsipil.

Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul (tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.

Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding, dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya adalah sebuah pembangunan opini bahwa Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.

Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra berdiri, kemudian riwayat Harian Rakjat sebagai corong utama kerja-kerja seniman Lekra, dan lantas satu demi satu diuraikan bagaimana kerja Lekra dalam bidang sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang.

Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat, pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya. Sungguh ini merupakan buku pertama mengenai Lekra yang sangat komprehensif.

Kerja Kreatif Seniman Lekra Di Panggung Kebudayaan

Dalam “panggung” Lekra Tak membakar Buku ini, terungkap banyak realitas menarik yang banyak tak diketahui publik. Di antaranya adalah instruksi pada semua utusan Kongres I Lekra dari seluruh cabang di Indonesia pada Januari 1959 agar tak hanya membawa bahan untuk diperdebatkan, tetapi juga membawa alat musik, mainan anak-anak, kerajinan tangan, pakaian daerah, cerita-cerita, ornamen-ornamen, penerbitan, dan lagu-lagu daerah masing-masing. Semua itu digelar dalam sebuah bazar besar sehari sebelum hingga kongres berakhir. Pengunjung pameran mencapai 15000/malam; sebuah jumlah yang tak kecil pada masa itu.

Tak sekadar memajangnya, mereka juga mematok program untuk menginventarisasi kekayaan-kekayaan cipta budaya Nusantara yang terserak ribuan jumlahnya itu sehingga tak dicaplok bangsa lain seperti kasus lagu Rasa Sayange atau Reog Ponorogo beberapa waktu lalu.
Seniman-seniman Lekra juga giat menyerukan agar pemerintah memperkeras sikap dengan gambar-gambar dan lukisan cabul dalam bentuk dan kegunaan apa pun seperti ilustrasi, poster, dekor, ornamen, tekstil, dan sebagainya. Kita tak perlu ribut dengan kontroversi RUU pornografi hari ini jika saja mendengarakan apa kata seniman Lekra puluhan tahun silam.

Lekra demikian tegasnya melakukan kerja budaya yang segaris dengan prinsip manipol, menentang keras imperialism dan memberdayakan kebudayaan dari dan untuk rakyat. Kesenian-kesenian pertunjukan yang mulanya hanya dapat dinikmati kalangan terbatas karena kungkungan budaya feodalisme mulai dikembalikan dan dibuka untuk bisa dinikmati rakyat seluas-luasnya. Keprihatinan akan fenomena miskinnya anak-anak kecil akan lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga mereka lebih banyak menyanyikan lagu-lagu dewasa tentang cinta-cintaan yang cengeng, mendorong Lekra untuk membahasnya secara serius dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Fenomena ini tak jauh berbeda dengan kondisi nyata jagat musik kita saat ini. Setiap hari di televisi, kita disuguhi anak-anak kecil yang beradu suara dalam lomba menyanyi, dan lagu-lagunya jenis lagu dewasa. Adakah yang peduli?

Lekra tak membiarkan anggotanya menempuh jalan kebudayaan dengan ugal-ugalan. Setiap seniman mesti bertanggung jawab pada rakyat yang menjadi basis dayaciptanya. Lekra juga menekankan agar dalam proses mencipta (seperti sastra) selalu melalui riset ilmiah bukan ongkang-ongkang kaki sambil merokok dan menenggak alkohol. Sikap Lekra Jelas di sini bagaimana Lekra berpihak dalam peran budayanya dengan memundaki tiga asas: Bekerja Baik, Belajar Baik, Dan Bermoral Baik.

Di bidang perbukuan, Lekra menunjukkan bahwa pameran buku digelar bukan semata untuk kepentingan bisnis, tetapi juga ideologi. Dalam pameran bisa dilihat siapa saja yang mengikuti pameran dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Disinilah perang ideology propaganda politik melalui media literer itu terjadi.

Lekra Tak Membakar Buku adalah sebuah pembelaan atas tuduhan yang sering dilontarkan “lawan” budayanya pada masa itu. Salah satunya adalah bahwa Lekra organ budaya pembakar buku. Buku ini bersikap jelas dan tegas: TIDAK! Lekra percaya bahwa buku mampu mengubah dunia, tapi tidak sembarang buku. Buku yang mampu “mengubah” adalah buku yang isinya digali langsung dari perikehidupan rakyat melalui gerakan turun ke bawah dan bukan mimpi-mimpi kosong yang melulu menjual kepalsuan hidup dari kamar salon.

Lekra memang melakukan “teror” atas buku-buku penandatangan Manikebu dan juga pentolan-pentolan Masjumi dan PSI yang terlarang. Tapi Rhoma dan Muhidin ini memberi dalih bahwa dari lembar-lembar Harian Rakjat tak ada ditemukan bukti-bukti bahwa Lekra secara individu maupun kelembagaan telah mengorganisir pembakaran buku yang mereka tak sukai.
Lekra dan PKI ‘Buku putih’ ini juga sekaligus meluruskan asumsi publik akan posisi Lekra terhadap Partai Komnis Indonesia. Jika selama ini Lekra selalu diidentikkan dengan PKI, maka dua penulis muda ini mencoba memberikan perspektif lain.

Dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya diselenggarakan oleh PKI, Memang banyak seniman-seniman Lekra yang turut terlibat, namun kapasitasnya sebagai individu yang mengaku sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara kelembagaan. Dalam perjalanannya, tak pernah ada nama Lekra disebut-sebut dalam kongres ini.

Tak pernah ada bukti factual bahwa Lekra pernah menjadi underbow PKI secara institusional. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI. Akan tetapi, Lekra juga tidak sepenuhnya bersih dari pengaruh PKI. Lebih tepat jika hubungan Lekra-PKI ini disebut sebagai hubungan ideologis, demikian agumen Muhidin-Rhoma.

Terlepas dari beberapa kesalahan ketik di sana sini yang cukup mengganggu kenyamanan membaca, kita layak member apresisi pada buku ini sebagai sebuah dokumen sejarah yang disusun anak muda generasi sekarang dengan “semangat ilmu pengetahuan” dan keseriusan di atas rata-rata. Muhidin dan Rhoma menasbihkan buku ini sebagai sebuah dokumen pelurusan sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan pada generasi muda.

Penulis buku ini adalah Ketua Forum Nusantara Madani, pecinta buku, tinggal di Surabaya.
Alamat : Karangrejo V No : 6 Surabaya
No Rek : 99998194
Telp : 085 232 444 023, 081 7938 1188
E-mail : dee_5454@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar